Pemandangan Alam Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia

Pemandangan Alam Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia
Dari: Koleksi Pribadi Slami Pekcikam

Pemandangan Jalan Raya Memecah Bukit Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia

Pemandangan Jalan Raya Memecah Bukit Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia
Dari : Koleksi Pribadi Slami Pekcikam

Jumat, 13 Januari 2012

Kau Canduku

Kau
Tahukah aku merindumu sejak dulu
Kau tak merasa

Kau
Tahukah aku memamah cintamu
Kau tak merasa

Aku terlalu memuja manusia
Aku tak berdaya
Karena aku seorang pecinta

Tak Kunjung

Resah saat kecintaan tak kunjung didapatkan
Menanti hujan yang tak kunjung reda

Badai yang tak kunjung habis derunya
Sepi yang tak jua memapankan

Limpahan harta semakin membuatnya kebingungan

Bercanda dengan setan senantiasa
Tuhan hanya dalam angan

Berbaju gamis yang silaukan pandangan makhluk
Hati iblis tertutupi penampilan maha sempurna yang kau buat

Hujan tak kunjung reda
Hatimu tak kunjung berTuhan jua.

Kamis, 12 Januari 2012

Tuhan Dalam Gelap

Meraba nama Tuhan dalam canda
Membuang nama Tuhan dalam suka

Terpuruk dalam gelap
Mengingat Tuhan

Cintaku

Memapas rindu yang terlanjur menjadi luka
Tiada hati yang terbuat dari baja
Rintihan dalam derasnya air hujan

Mencari terus melangkah
Kecintaan yang tak berujung pangkal
Kecintaan yang terkadang sulit

Tercinta
Aku utarakan aku suka

Tercinta
Segeralah menjuntai mimpi bersamaku

Selasa, 10 Januari 2012

Tidak Mengerti

Katakan padaku berikan jawaban
Apakah harus tinggal dalam sangkar emas bersamamu agar tahu apa yang kau mau?

Dalam damai kidung senja getarkan jiwa yang sepi
Mencari serpihan-serpihan hati yang koyak tercabik
Kehilanganmu dalam rindu yang membara
Kepergianmu membuat aku terluka

Rinduku padamu kemana hendak disematkan?
Kau pergi seolah tak ingat akan hangatnya cinta kita

Kau pergi
Aku sungguh tidak mengerti

Berharap Namaku Ada

Sampai kini aku masih mendengar lagu-lagumu
Aku berharap namaku ada dalam sair-sair lagumu

Walau aku tahu dirimu telah berdua
Mungkin terlalu naif bila ingin rajut lagi kisah cinta
Tulislah namaku dalam sair-sair lagumu

Takdirku

Biarlah kucari apa yang kumau
Tiada tangisan dalam sesali yang tak kudapati
Sakit yang terjadi memang menyakitkan
Perih yang dirasa memang terasa menusuk dada

Tak bisa menerka jalan hidup masa depan
Prediksi sekedar prediksi
Bulan yang terus menerangi kala malam
Berlari walau tak paham arah

Terus berlari tanpa pedulikan mereka yang berwajah kecut
Ini hidupku kujalani kebaikan dan keTuhanan

Ampun Duhai Tirani

Sudah jangan menangis
Akupun diseret ke dasar lembah
Seluruh badan diikat rantai baja
Mulutku tersumpal

Menggema tawa para penjajah di seluruh lembah
Mereka pergi
Aku terduduk sendiri
Menetes di kedua pipi
Mungkin aku menanti mati
Menyesali berteman iblis
Duniaku terhimpit

Ketakutan bila kelak berhadapan dengan Tuhan
Duhai, tirani
Andai waktu bisa berputar kembali
Aku akan menjauhi tirani
Aku akan membakar buhul-buhul tirani

Ampun tirani,
Jijik dengan kesewenang-wenangan
Kedua mata berkunang-kunang
Tubuhku ambruk tanpa nyawa

Banyak Tingkah

Banyak bicara
Banyak polah
Banyak aktifitas
Segala sibuk dilakukan semata untuk tutupi nafsu kesetanan
Pemuja syahwat
Pemuja nafsu sesat
Ibadah yang terjuntai tak berarti bila masih memuja iblis dalam hati kecil

Ketakutan akan ditinggalkan dunia
Melupa akan kehidupan kekal nanti
Bila dipikirkan memang dunia perlu tapi tak perlu memuja nafsu setan

Banyak tingkah
Banyak kesesatan yang dituju
Lelah mendengar
Lelah menasehati
Kedua telinga ditutup
Hati membatu

Banyak sekali iblis

Ombak Yang Dangkal

Sungai mengalir
Airnya jernih
Arusnya pelan
Sungai pedesaan

Begitu aliran tiba di kota
Air berubah pekat
Arusnya yang tak tentu arah
Arusnya yang mengobrak-abrik sisi hati yang tenang
Terkadang ombak kecil memercik penuh gairah

Sungai perkotaan di penuhi kotor-kotor yang terbuang pada sungai
Hati yang bening menjadi keruh