Pemandangan Alam Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia

Pemandangan Alam Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia
Dari: Koleksi Pribadi Slami Pekcikam

Pemandangan Jalan Raya Memecah Bukit Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia

Pemandangan Jalan Raya Memecah Bukit Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia
Dari : Koleksi Pribadi Slami Pekcikam

Minggu, 29 Oktober 2017

Dirinya Tak BerTuhan

Jijik melihat dirinya
Penuh tipu daya nan licik
Atau memang hati ini terlalu peka
Hingga manusia penuh palsu maka nurani bergetar terusik

Membaca dunia dalam kelembutan jiwa
Meraba dalam perut kosong
Melukis dengan terus mengingat dosa
Berjalan menyebut Tuhan tanpa bohong

Jubahnya menjuntai
Hingga menyapu penuh lantai
Tanyakanlah pada nursani
Watak berTuhan atau iblis tak berhati

Sungguh muak pada sujudnya
Menyembah Tuhan seolah permainan
Tapi mungkin juga dirinya bersahaja
Dan ini semua salah membaca

Yang pasti kebenaran akan terkuak
Ketulusan keTuhanan akan buat terbelalak
Bila tak terbukti di dunia
Tunggulah pada kehidupan kelak tanpa dusta

Pesinis Tersenyum Kecut

Bernyanyilah para kaum kesepian
Dalambingkai pesawat pada tangan yang direntangkan
Kebahagiaan termuat dalam beda penilaian
Kesenangan itu sederhana dan tak perlu kerumitan
Berhati-hatilah akan mereka yang penuh rasa kesinisan
Ibadah palsu topeng keTuhanan
Menghasut lalu memprovokasi penuh kelicikan
Berkoar untuk menutupi segala yang menyelubungi badan

Dirinya menari di atas penderitaan
Berbusa mulutnya "dunia sementara" namun tak sehaluan
Berbeda 360 derajat antara perilaku dan ucapan
Manusia sinis menari namun tetap berkalung kesedihan
Ibadah yang terjuntai mungkin kelak habis membayar piutang penghasutan

Para kaum kesepian
Terus bernyanyi dalam ruang perandaian
Kaum yang penuh kebahagiaan
Karena jiwanya berTuhan ketulusan

Jumat, 27 Oktober 2017

Kau Menyakitiku

Kau tak bisa seperti itu
Terus-menerus membuat perih di dadaku
Membuat terombang-ambing hasratku

Menerbangkan perasaanku ke langit ke tujuh
Namun serta-merta tak kau tanggapi ragaku dengan seluruh
Kau seolah tak jua luruh

Bohongkah atas pengakuan sayangmu?
Bohongkah atas keinginanmu mengecupku?
Bila semua dustamu maka tak lagi menunggu

Sakit lagi perih mencintai tapi tak dicintai
Menunggu tapi tak selamanya karena kau berbeda kini

Sabtu, 21 Oktober 2017

Susah Membatu

Bila menggambar dirimu teramat susah
Bila bersama dirimu menjadi gerah
Maka melepaskanmu menjadi sesuatu yang indah
Selamat tinggal hari nan cerah
Bila dirimu tak lagi mau
Cukup katakan agar diriku lekas tahu
Tapi bila kau tetap diam membisu
Aku lelah dan tak mau terus di anggap batu

Kamis, 19 Oktober 2017

Hujan Tak Bergeming juga

Sungguh perih
Seolah sembilu
Tercabik-cabik
Menggigil tubuh karena mencinta
Merapuh jiwa karena begitu teramat merindukannya

Sudah kubisikkan pada awan
Sudah kukabarkan pada angin
Semua cerita tentang rasa cinta bertabur asmara penuh rindu padanya
Namun tak ada satupun yang menyampaikan kabar gembira

Seolah bumi tak merestui

Satu harapan terakhir
Saat air menetes dari langit
Kugandeng dan kumohon pada sang hujan
"tolong, katakan padanya aku merindukannya
"karena ini kesempatan terakhir"

Dan betapa bodohnya diri
Mencintai dalam diam itu sakit
Menyayangi tapi tak kunjung berbalas itu perih

Dan hujan membawa sebuah kabar
"walau air hujan basahi tubuh akan tetapi dirinya tak pernah peka
"dan mungkin tak ada rasa"

Jawaban hujan sungguh menyakitkan
Karena hujanpun tak membuatnya bergeming akan rasa cintaku

(inspirasi dari status teman medsos MJF)


Kamis, 12 Oktober 2017

Pintu Penantian

Menantimu di belakang pintu
Menantimu di balik pintu
Tertidur lalu terbangun
Sungguh sudah tak tentu rasa
Bertanya-tanya menjadi raja
Degupan jantung berdetak cepat
Janjinya pada kedatatangannya
Datangkah atau hanya sekedar harapan bias nan abu-abu?
Hampir habis dan di ambang batas sabar

Lapar yang sengaja ditahan
Gerah yang sengaja berkeringat
Waktu terus bergerak
Kedua mata terus melihat jarum jam yang berputar
Datangkah dirinya mengetuk pintu?
Atau berjuta keinginan hasrat memadu asmara harus tertahan?

Dan ini sudah terlalu lama
Menyerah saja diriku
Bersandar di balik pintu
Dirinya hanya berikan bunga-bunga palsu
Dan jengah
Dan gilanya menikmati penantian ini

Penghambatmu

Perasa dan sungguh teramat merasakan
Tak mau menjadi "seekor penghambat"
Bila hanya menghambat impian-impianmu di dunia
Aku pergi menjauh
Kemasi saja semua tipu-muslihatmu itu
Dan tak mau mendengar lalu mengalami lagi
Aku bukan keledai bodoh

Jangan ganggu
Jangan umpat
Jangan caci
Jangan saling tanyai
Jangan terus-menerus mencari simpati

Lebih baik saling gugat kelak di hadapan Tuhan
Dan menunggu saatnya tiba
Dimana tiada lagi manisnya bahasa yang menjadi pemenang
Yang ada hanya satu bahasa yakni kejujuran

Jangan saling menghambat di dunia maka lepaskanlah

Jumat, 06 Oktober 2017

Perangkap Cintamu

Bukan ku tak merasa
Bukan pula tak miliki rasa peka
Mungkin telah kebal raga dan jiwa
Ulah bengal yang kucinta
Perangkapmu tentang cinta
Kurasakan tapi tetap kuterangsang
Kekesalanmu tentang rasa
Kubiarkan karena sangat ingin menikmati

Perangkapmu kurasa dan jelas tapi kuterangsang
Lalu kesalmu menjengahkan tapi kunikmati
Karena sungguh keterlaluan diriku untuk merengkuhmu erat
Dalam pelukan

Begitulah cinta
Begitulah sebuah hasrat
Keinginan untuk memelukmu erat
Merengkuhmu dalam pelukan
Kadang kau pergi lalu acuh dan menghilang
Dan diriku yang masih terngiang padamu

Marahi saja
Caci maki saja
Bila itu membuatmu merasa nyaman dan senang
Cintaimu tanpa perangkap cinta dariku
Dirimu yang terus-menerus menebar ranjau cinta

Coba hentikan dulu sejenak
Lihat diriku
Menunggumu dibawah rindangnya pohon jati
Menunggumu pada sebuah jalan setapak
Menunggu untuk mengecup mesra bibirmu

Berharap kau secepatnya berjalan
Temuilah diriku
Balutilah diriku
Tubuhmu menjadi penangkal semua perangkap ranjau cintamu