Pemandangan Alam Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia

Pemandangan Alam Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia
Dari: Koleksi Pribadi Slami Pekcikam

Pemandangan Jalan Raya Memecah Bukit Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia

Pemandangan Jalan Raya Memecah Bukit Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia
Dari : Koleksi Pribadi Slami Pekcikam

Kamis, 24 Agustus 2017

Masih Pantaskah Menyebut-Mu?

Masih pantaskah kusebut nama Tuhanku?
Terlalu malu sungguh teramat besar rendah diri ini
Kerendahan diriku saat ingin menyebut asma Tuhan
Tapi sungguh dungu ingin mendekati Tuhan tapi dedosa masih saja terhirup

Lihatlah, Tuhan
Hanya nama Tuhan saja berani kupanggil
Memanggil nama-Mu terlalu kelu lidah ini
Teringat pada dosa-dosa yang masih saja kuperbuat dan kuulang

Merasa berkuasa
Tak mau mendengar nasehat kebajikan
Menganggap orang lain tak sama walaupun tahu hanya taqwa saja sebagai pembeda
Kotornya bahkan kasarnya ucap juga perangai

Masih pantaskah ku menyebut nama Tuhan?

Muhammad bin Abdullah sebaik-baik panutan
Kerinduan pada beliau sebatas dalam imajinasi
Sebaris hadits lalu setangkup firman coba dirajut
Karena ingin gagah berani saat mengucap nama Tuhan

Sabtu, 19 Agustus 2017

Maaf, Belum Benar

Bila menjadi iblis maka peranilah
Bila menjadi malaikat maka peranilah
Tapi jangan sekali-kali berperan sebagai Tuhan

Karena Tuhanlah yang akan membasmi laku-laku tak benar

Sudah benarkah laku kalian?

Aku Paling "Ter"-semuanya

Kamu tidak baik
Aku baik

Kamu tidak benar
Aku benar

Kamu tak jujur
Aku jujur

Segalanya tentang aku
Aku yang paling tahu

Segalanya tentang aku
Dunia tak berhak ikut campur urusanku
Hanya Tuhan yang berhak

Maka kebenaran terserah aku
Serasa menjadi "anak tuhan"

Kalian semua ingusan
Kalian semua hijau
Kalian yang tak bernilai di hati juga otakku

Lihatlah
Aku mendengarkan ocehan sambil tersenyum-senyum menahan ingus

Lihatlah
Aku berkata tak jernih pada mereka yang tak memihakku dan tak memilihku

Dunia yang coba diputar balikkan keadaannya
Dan merasa sungguh merasa Tuhan menyetujui

Ataukah ini hanyalah sebatas arogansi kekuasaan dan sejumput rendah diri belaka?

Kamis, 17 Agustus 2017

Pemasungan Identitas

Dalam sedih ada bahagia
Menari saat para penyamun pergi
Rindu ayah
Rindu ibu
Saat kerinduan terhalang
Para penyamun yang penuh dusta

Bahasa cinta yang merangsang
Belas kasih yang ingin berbalas
Saat keluguan menjadi permainan
Saat terkuak semua tabir kesetanan
Merajang sebentuk kasih penuh belatung
Kasih sayang karena pemasungan

Rantai membelit hati juga badan
Tercekoki karena pemberian harta
Tak berkutik

Rabu, 09 Agustus 2017

Sang Telunjuk

Saat sang telunjuk mengingatkan
Sang telunjuk tak berhak mengingatkan
Lalu terucaplah "silahkan pukul!"
"silahkan pukul!"
"silahkan pukul!"
"silahkan pukul!"
"silahkan pukul!"
"silahkan pukul!"

Hanya orang gila saja yang mengajak bertikai
Dan hanya orang gila saja yang menuruti ajakan pertikaian

Berlogikalah
Saat sang telunjuk menunjuk wajah
Ingatlah akan kelakuan busuk-busuk
Bertahun-tahun
Menari bersama setan-setan

Bumi melihat
Alam melihat
Saat kebusukan terbuka maka tak ada manusia yang bisa menutupi

Masih membeku nurani
Dan sang telunjuk akan menggugat kelak di hadapan Tuhan
Saat semuanya tak berdusta dan tak memutar-balikkan fakta

Menanti dan sungguh menanti saat masa penghakiman Tuhan

Punggung Nama Besar

Aku berlari setiap ada masalah
Berlari saat lakukan dedosa tak berTuhan
Karena punggung ayah begitu bernilai
Ayah yang mempunyai nama besar

Perbuatanku mencabuli istri orang walau aku sudah miliki istri
Ucapanku menghina atasanku walau aku masih bekerja untuk atasanku sekarang
Aku akan bersembunyi di balik nama besar "ayah-ayah"ku
Karena setiap ada masalah lebih nyaman bersembunyi

Manusia-manusia yang tampak bodoh lagi dungu di mataku
Manusia-manusia yang tak berkelas dan tak layak memberi nasehat

Aku yang benar
Aku yang miliki kuasa

Hidup ayah ibuku karena aku sekarang

Dan gampang saja bila itu semua menurutku aib-aib
Maka agama akan kujadikan tameng pembenaran
Lalu perbuatan dan ucapanku tetap akan girang-gembira kulakukan lagi
Karena setan-setan seolah menari-nari penuh candu berarak bersamaku

Aku yang selalu benar

Karena duniapun tak berhak memberi nasehat padaku
Akulah "anak tuhan"

Aku dan punggung nama besar ayahku

Kau Masih Membekas

Hampir setahun kau pergi
Namun bayanganmu masih membekas
Pergumulan dalam pembicaraan
Saling memberi nasehat dan semangat
Keseruan dalam obrolan yang "tak berkelas"

Ada tawa juga cerita

Kepergianmu karena memang telah tiba masanya
Namun jalinan kita berdua tak akan pernah lengkang

Memang tak selalu tertawa saat bersama
Tapi itulah kehidupan

Kini saat ingin bertemu tak semudah membalikkan telapak tangan
Dirimu yang terkejar-kejar oleh waktu
Diriku yang terkadang lupa memiliki dirimu

Kau masih membekas hingga kini

( Untuk AY, semoga Tuhan selalu menaungi langkah kita berdua)

Minggu, 06 Agustus 2017

Mata Keranjang

Matanya tajam melihat
Sorotnya menjengkelkan
Gerak tubuhnya membuat kesal
Dirinya bak "pemesum berjalan"
Walau aroma keTuhanan terbaju
Aroma busuk mata keranjang menyeruak
Bau busuk pornografi terpampang jelas di muka
Air liur menetes bak anjing liar
Terus mencari mangsa untuk bermesum
Menerjang bahkan menerkam siapa saja yang mengingatkan

Dirinya seorang mesum sejati
Dirinya Don Juan tak bermartabat

Seekor mata keranjang

Jujur Aku

Jujur aku takut kehilangan
Padahal sungguh mengerti bahwa "angin" tak bisa terpegang
Melihatmu kemarin dan tak tahu apakah marahmu sudah reda?
Tak tahu juga apakah kemarin mata juga hatimu melihatku?

Kemarahanmu padaku bak belati
Menancap lalu terlepas dan meninggalkan bekas

Dirimu marah karena puisiku
Dirimu tak nyaman karena puisiku terinspirasi darimu

Kau pergi
Kau menjauh

Dan jujur aku kehilanganmu

Jumat, 04 Agustus 2017

Kelamnya Hatimu

Sungguh jahat bila kau itu saudara sedarahku
Dan terucap lalu terbersit di hati kau ingin melihat saudaramu menderita
Bukankah sebagai manusia berTuhan tak boleh mendoakan keburukan?
Lalu ada apa denganmu?
Apakah kehidupanmu suram lalu berimbas pada hatimu hingga kelam?

Catat kata-kataku
“Aku hanya mengingatkan dan tak ingin sungguh melihat hidupmu sengsara”
Tapi seperti katamu “manusia ada yang mendengar dan tidak mendengar”
Mungkin saat ini kau merasa rendah diri dan malu
Aku sekarang pergi menjauhimu karena tak mau terus berkonfrontasi

Bila tanpaku bahagia hidupmu maka jalanilah
Karena bagiku terasa sesak lagi menyakitkan tak bercengkrama
Jalanmu maka bertanggung jawablah pada pilihanmu
Tak logis juga tak masuk akal mencari para pendukungmu
Saat jasamu ingin berbuah pamrih maka tercatatlah kelamnya hatimu

Kau bukan lagi manusia tua bila tak respek pada semua kata indah
Terkadang kata-kata indah tersampaikan secara perih
Terkadang karakter manusia terlanjur perih saat berucap
Kau saudara terkelam dengan jiwamu yang suram

Saat berkata di mulut dan terbersit di hati “ingini hidup saudaramu berantakan” 

Kusangka Kau Cintaiku

Apa kabar harimu saat ini?
Apa kabar hubunganmu dengannya?
Mungkin terdengar basa-basi karena ada sekelumit rindu bercampur cemburu
Kini berpapasanpun tak saling memandang dan tersenyum
Kini tak lagi saling mencuri pandang apalagi sekedar menyapa

Aku yang memperkenalkanmu pada puisi
Dan kini kau rayu dirinya dengan tulisanmu
Kau kemas tulisan rayuan untuknya
Aku membaca
Aku melihat
Walau getirnya jiwa kucoba hempaskan rasa dengan tawa
Saat coba kuungkit rindu tiba-tiba kau menjauhiku
Dan itu sangat menyakitkanku

Kusangka kau cintaiku
Kukira kau inginiku walau dalam diam dan sembunyi dari dunia juga darinya

Kau masih tuliskan kata-kata manismu untuknya
Dan aku membaca juga melihatnya dengan teriris-iris
Kapan kau tuliskan rayuanmu untukku?

Sungguh hanya ingin berdua dan tak peduli kau masih bersamanya

Karena hanya ingin kau tuliskan puisi cinta untukku

Patutkah Berbangga Karena Dunia?

Limpahan harta-benda
Mapannya kehidupan sosial
Tak sadarkah itu sekedar sebuah istibraj?

Tuhan memberikan kesenangan
Tuhan ingin melihat bagaimana reaksi pada sempurnanya kehidupan
Terkadang terlena lalu berkecimpung dedosa dalam senangnya dunia

Patutkah berbangga karena dunia?
Apa yang dibanggakan pada semua dunia yang sementara?
Bila sempurna dan baik hanya pandangan manusia saja

Karena baik menurut manusia belum tentu baik di mata Tuhan
Karena tidak baik menurut manusia belum tentu tidak baik di mata Tuhan

Dekatilah Tuhan dengan hati

Karena Tuhan Maha Mengetahui isi hati

Asyik Menyembunyikan Rasa

Sang betina meninggalkan sejenak anak beserta suaminya
Sang pejantan meninggalkan sejenak anak beserta istrinya
Kedua sejoli memadu hasrat dalam sebuah gubug
Kedua pasangan memacu berpeluh di bawah rindangnya pohon
Di atas ranjang sebuah penginapan hingga menimbulkan suara berderit-derit

Bertahun-tahun asyik lagi khusuk menyembunyikan rasa
Lalu saat rasa terketahui sibuk mencari sasaran tembak untuk menyalahkan
Gilakah rasa itu?

Dan jangan terperangah kaget jika sekonyong-konyong ada yang mengetuk pintu
Lalu mengaku bahwa “anak dari rasa tersembunyi”

Jangan sembunyi di balik nama besar keluarga
Mungkin sang bentina dan sang pejantan merasa rendah diri di hadapan nama besar keluarganya
Dan merasa keduanya merupakan “pasangan yang tak berjodoh”
Sebuah ide gila yang terus dipancangkan

Sejenak rehat karena rasa sudah terketahui khalayak
Lalu tunjuk seseorang untuk mengalihkan rasa yang coba disembunyikan

Merasa diri lebih tinggi status sosial

Hei, gilakah?
Dalam Sang Esa ide status sosial sudah sirna
Dan yang ada hanya jauhi dedosa lalu patuhi Tuhan

Tanyalah jiwa

Rasa yang asyik disembunyikan sudahkah “menyenangkan Tuhan?”

Kau Tak Berhak Hina Guruku

Sebodoh-bodohnya guruku sungguh kau tak berhak menghinanya
Sehina-hinanya guruku sungguh kau tak berhak mengetusinya
Dan kau lakukan itu semua didepanku
Seakan kau lupa akulah muridnya
Kau terus mengoceh dan berkata semaunya
Hanya karena guruku tak berada menjadi pendukungmu

Lupakah kau bahwa hanya hati yang menangkap bahasa hati
Bagaimanapun sikapmu
Bagaimanapun perilaku yang “seolah baik” kau praktekkan
Sekali lagi hanya hati yang mampu membaca hati

Bila hanya penghormatan manusia sungguh betapa rendahnya dirimu
Dan mulutmu sungguh tak pantas berkata mencap guruku “sang pencapmu provokator”

Sudah bercerminkah hatimu?
Atau cermin hati nuranimu retak
Hingga merasa hanya Tuhan saja yang pantas menilaimu


Kau tak berhak hina guruku